Pemilik pabrik rokok masuk dalam lima besar orang terkaya di
Indonesia. Mereka menjadi kaya karena menjual rokok, yaitu memanfaatkan
sifat adiktif (ketagihan) nikotin untuk menarik keuntungan meskipun
mereka tentu tahu dampak buruk rokok terhadap kesehatan pengisapnya. Ironisnya, sebagian besar perokok terdapat di kalangan rakyat yang berpenghasilan rendah.-
Dalam buku Profil Tembakau Indonesia yang
diterbitkan oleh Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan
Masyarakat Indonesia (IAKMI), tahun 2008, jumlah perokok dari kalanganberpenghasilan rendah adalah 35%, sementara darikelompok penghasilan tinggi sebesar 32,8%. Artinya,sebagian besar penghasilan (kekayaan) pemilik pabrik rokok berasal dari rakyat yang berpenghasilan rendah.-
Bagi orang miskin dan berpendidikan rendah, merokok mungkin
satu-satunya jalan pelepas lelah atau pengalih tekanan kesulitan yang
paling terjangkau. Tanpa disadari bahwa dengan demikian ia telah terjerat kepada kecanduan nikotin yang sulit dilepaskan. -
Untuk memenuhi kecanduan itu, ia rela mengeluarkan uang yang
cukup besar. Merelakan bagian uang belanja keluarga dan uang sekolah
anak-anaknya dibelikan rokok. Proporsi uang yang dikeluarkan orang
miskin untuk rokok mencapai 11 persen dari penghasilannya, sementara
orang berpenghasilan tinggi hanya 9 persen (Susenas 2004).-
Semakin miskin seorang perokok, semakin kecil uang yang
disisihkan untuk kesehatan, gizi, dan sekolah anak-anaknya. Resiko
selanjutnya, kemiskinannya akan dilanjutkan oleh keturunannya. Belum
lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh keluarga miskin itu untuk
mengobati penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh rokok.-
Penelitian Kosen Suwarna, tahun 2005, menemukan
angka Rp 127,7 triliun biaya yang dibelanjakan masyarakat untuk
mengobati penyakit-penyakit yang berkaitan dengan rokok dalam setahun, sebagian tentu berdampak pada pendapatan pemerintah karena produktivitas rakyat menurun. Sementara pendapatan pemerintah dari cukai tembakau hanya Rp 16,5 triliun.Namun
karena pengeluaran untuk mengobati penyakit akibat rokok itu
berlangsung “diam-diam”, angka sebesar itu tidak mudah tampak di depan
mata. Lain halnya dengan pemasukan cukai yang segera tampak rupiahnya.-
Lebih menyedihkan lagi, sebagian dari
kekayaan yang diperoleh dari pemanfaatan kecanduan rakyat ini mengalir
ke Amerika Serikat dan dinikmati oleh orang-orang Amerika. Dalam koran Kontan (29/5) diberitakan, Philip Morris meraup keuntungan sebesar Rp 1,6 trilun dari HM Sampoerna. Karena Philip Morris menguasai saham 97,75% persen, tentulah ia akan memperoleh bagian (dividen) terbesar dan mengalir ke Amerika Serikat !-
Siapa peduli ?-
Philip Morris atau pemilik pabrik rokok yang lain tentu tidak
peduli apakah rakyat Indonesia akan menjadi lebih miskin dan lebih
sakit karena ketergantungan kepada rokok, yang penting ia dapat meraih
keuntungan sebesar-besarnya. -
Dengan mengikat remaja pada ketagihan rokok (melalui iklan terselubung besar-besaran)
, bukan saja semakin besar jumlah yang akan memberinya keuntungan,
melainkan juga semakin panjang jangka waktu kecanduan itu. Dari sejak
anak sampai dewasa, yang mungkin berarti selama 40-50 tahun akan terikat
kepada rokok. Lalu siapa yang harus peduli terhadap masalah itu ?
Pemerintah ?
Mungkin rakyat sendiri yang harus sadar. Namun ,mungkinkah orang yang sedang mengisap candu dapat sadar bahwa itu berbahaya bagi dirinya ?
(Dicuplik dari artikel berjudul “Jadi Kaya karena Orang Miskin” oleh Kartono Mohamad, harian KOMPAS, Sabtu, 31 Mei 2008).
sumber : http://tokogobeng.wordpress.com/2012/02/26/pengusaha-rokok-jadi-kaya-karena-orang-miskin/#comment-7